Apa yang terjadi kalau setiap hari seseorang pura-pura bahagia?
Perempuan itu sedang berpikir tentang sesuatu ketika sebuah pertanyaan kugantungkan di antara kami.
Pandangannya kosong. Tangan kirnya menangkup sisi kiri kepalanya seakan-akan sesuatu sedang berkecamuk disana.
Tidak ada.
Jawaban yang pendek dan cepat. Perempuan itu menjawab tanpa berpikir.
Kalau seseorang benar-benar bahagia?
Tidak ada.
Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraannya. Kalau orang yang tidak pernah bisa menyembunyikan kesedihannya?
Pertanyaanku menuntut. Bingung.
Tidak ada juga.
Ada jeda sejenak antara cerita tanpa arah ini.
Aku menggenggam pertanyaan yang menuntut penjelasan.
Sedang perempuan itu menggenggam pernyataan yang menjelaskan.
Tidak ada yang terjadi. Karena manusia hidup. Kejatuhanmu bukan sesuatu yang luar biasa.
Perempuan itu mengalihkan pandangan matanya, menyelipkan anak-anak rambutnya dibelakang telinga lalu memangku dagunya dengan tangan kanan.
Sama halnya dengan jutaan orang lain.
Tidak akan terjadi apa-apa. Karena kita hidup. Dan dunia berputar. Masalah hidupmu tidak sebesar itu sampai harus terjadi sesuatu.
Telak. Ucapannya telak.
Aku dengan perspektif manusiaku yang rabun dan bias.
Meruntuhkan duniaku sendiri karena kupikir harus ada sesuatu yang berubah. Harus.
Nyatanya tidak.
Note:
Ini cuma percakapan sederhana antara 2 karakter yang kebetulan disebut perempuan.
Monologue #4 yang seharusnya menjadi monolog ketiga. Ditulis jauh lebih dulu dari tulisan sebelumnya.
devvugraf
Words have no purposes, it's us who write it the way we want.
September 15, 2019
Januari 17, 2016
Monologue #3 : People see what they want to see
http://weheartit.com/entry/76062932 |
Kupikir
dengan diam, semuanya bisa kutahan sendiri.
Kupikir dengan bungkam, segalanya bisa
ditoleransi.
Kupikir
dengan sedikit mengeluh, ada sedikit dari banyak kata-kata yang bisa saling
ditukar.
Sayangnya?
Sayangnya
semua selalu kurang.
Sayangnya
Aku malah jadi orang lain.
Sayangnya
Aku malah ditempeli label arogan.
Sayangnya Aku selalu salah bicara.
Lucu.
Kenapa?
Aku 100% berpikir pendapatnya kali ini offensif.
Kedengarannya
seperti menyalahkan orang lain dan keadaan.
Ini membingungkan.
Dimana letak
‘menyalahkan orang lain dan keadaan?’
Ada kejujuran yang sama sekali tidak ingin
diakui. Tidak ingin kuakui.
Perempuan itu menyilangkan kedua tangannya di
dada.
Kebanyakan
manusia tidak mendengar kata-katanya sendiri. Mereka mendengar apa yang memang
ingin mereka dengar.
Aku
menghela napas. Kebiasaan bodoh.
Jelas
sekali terlihat aku sedang membangun pertahanan yang entah apa fungsinya.
Mereka melihat apa
yang ingin mereka lihat.
Perempuan
itu mengukur air mukaku terhadap kata-katanya.
Dengarkan kalimat
pasif yang seringnya, menjadi pilihanmu berkata-kata. Pilihanmu berbicara.
Dirimu sendiri yang
terlalu takut menjadi orang pertama.
Dirimu sendiri yang
tidak menemukan keberanian untuk mengubah apa yang menurutmu salah.
Lagi-lagi
aku ditelanjangi. Habis-habisan.
Note: Percakapan sederhana antara 2 karakter yang kebetulan disebut perempuan.
Desember 16, 2015
Deklarasi indranila
Semalaman diterkam kecemasan yang dibuat sendiri. Seperti kertas daur ulang yang dicabik-cabik. Serat-seratnya saling tarik-menarik dan memburai pada akhirnya.
Ada emosi yang sesungguhnya ingin dinyatakan. Tapi seperti orang pandir, terlalu arogan untuk merasa kalah.
Seperti ombak. Sebesar apapun gelombangnya, tibanya cuma gemericik kecil di ujung pasir. Lalu jadi buih.
Ada harapan yang tanpa sadar digenggam sendiri. Seperti menggenggam arang. Pada akhirnya ia hanya jadi tumpukan abu hitam di telapak tangan yang terbakar.
Bahagia cuma jadi noda.
Seperti omong kosong dari cat semprot hijau tua kebiruan pada dinding toko.
Aksara tanpa gema. Aksara warna tanpa suara.
Tidak berarti maknanya selain deklarasi semata.
credit: http://weheartit.com/entry/166797534/via/_Cookie_Monster_404
Oktober 22, 2015
Stagnan
Saya jadi kerikil bersisik yang memuai,
Kamu jadi karang.
Saya jadi pasir-pasir beku di tepian,
Kamu masih karang.
Saya jadi debu mikroskopis di udara malam,
Kamu tetap karang.
Kemudian Saya jadi kondensasi air di menara langit.
Saya tidak lagi bisa melihatmu,
Atau melihat karang.
September 06, 2015
Karbon kosong
Seperti penuh sesak padahal cuma angin.
Karbon monoksida dari bising pita suara saling membunuh.
Pembicaraan kita ternyata beracun.
Isinya kosong.
Entah kenapa terus kita ulang-ulang argumen dan opini yang sama.
Saling membeo dan melesakkan pendapat dalam kepala.
Karena tidak kita temukan jalan keluar, ide pembunuhan sepertinya lebih menyenangkan.
Langganan:
Postingan (Atom)