Oktober 07, 2012

What If...





Akan lebih mudah kalau kita tidak pernah bertemu.

Kalau takdir tidak menentukan hidup kita bersinggungan dan saling menyilang.
Kalau saja takdir hanya menuliskan kita saling bersisian dan tak perlu saling mengusik.



Takdir tidak salah.

Bukan dia yang menentukan apa yang terjadi setelah hidup kita saling membentur.
Bukan dia yang menjadikan kita batu.
Yang tidak akan pernah bersatu kecuali saling menghujam dan menghancurkan.
Bukan dia yang menjadikan kita rusak dan terluka sebegini parah hanya karena keinginan kecil kita untuk selalu bersama.
Bukan dia.



Bukan waktu yang mengatur kita bertemu pada pagi gerimis hari itu.

Tersihir aroma hujan dan tanah basah.
Bukan waktu yang menentukan detik yg tepat agar matamu terpaut pada mataku.
Bukan waktu yang mencocokan segalanya antara kita, pada awalnya.
Bukan dia.



Bukan keadaan yang membuat kita begini.

berputar-putar tanpa pernah bertemu jalur yang benar.
terperangkap egoisme diri sendiri dan tak pernah bisa pulang.
Bukan keadaan yang membuat kita berantakan.
Bukan dia.



Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, itu kata Sapardi.

Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu, lanjutnya.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, katanya lagi.
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada, ucapnya mengakhiri.



Pada kenyataannya, kita hanya dua orang yang memaksakan kehendak untuk tetap bersama.

Namun saling ketakutan akan kenyataan hati yang terluka.

Hati yang kita rengkuh erat-erat ternyata tak bisa pulih secepat itu.


Aku ingin menggenggammu.

Mengalirkan elektron tubuhku melalui jari-jarimu. Menukarnya dengan proton dan menjadikan kita atom seimbang.
Tapi Kau dan Aku tahu.
Jika aku menggapaimu, maka hati yang kita genggam akan terlepas.
Melayang entah kemana dan menyisakan rongga menyesakkan tanpa penawar.

Batasan apa yang harus kau dan aku lalui untuk terus bergenggaman tangan?


Kau dan Aku tahu.
Kita, sama-sama tidak tahu.




credits: instagram @jasonmpeterson  http://web.stagram.com/p/268726409301043967_1232537

Januari 19, 2012

Elegi



Jerit tanpa suara.
Oktaf-oktaf tinggi tanpa jeda.
Menggemakan kepingan-kepingan perasaan luluh lantak tanpa sebab.
Tidak terucap, tetapi menggempur tiap celah-celah jantung begitu kuat.

Diam, namun perlahan, kehilangan kesadaran.
Mengaburkan batas antara waras dan hilang akal.

Putus asa, hilang arah.


When you were standing in the wake of devastation
when you were waiting on the edge of the unknown
with the cataclysm raining down, insides crying "save me now"
you were there and possibly alone.

Do you feel cold and lost in desperation?
you build up all the failures all you've known
remember all the sadness and frustration
and let it go, let it go.

Linkin Park - Iridescent


Dan... semudah itukah merelakan semuanya?




credit: http://instantvoodo.deviantart.com/art/Stolen-89705010

Januari 09, 2012

Remember me, the raindrops.

Hujan Bulan Juni


tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


SDD, 1989




-------------------------------------------------------------------------------


"Hai, halo. Ini aku!


Aku yang sama yang merindukanmu tiap jengkal kau mulai menjauh.
Aku yang sama yang menunggumu berbalik tiap saat kau berpaling.
Aku yang sama yang mengingatmu tiap kali aku sadar kau melupakan aku.
Aku yang sama yang tidak mengerti kenapa kita saling berbalik.
Aku yang sama yang sedang, akan, dan selalu berteriak tanpa gema,
bahwa aku rindu. Rindu kita yang seperti dulu."


"Dan aku tetap diam.
Seperti hujan bulan Juni. 
Yang memendam rindunya."


"Hai, ini aku!
Aku yang sama yang tetap menganggapmu teman.
Ingat aku?"