Juli 12, 2015

Monologue: 2

source: http://favim.com/image/2701865/

Aku merasa hampa. 
Ocehku suatu hari di musim penghujan.

Perempuan itu sedang duduk menghadap jendela. 
Sibuk dengan khayalannya sendiri.

Menit-menit berlalu dengan untaian ritmis tetesan hujan pada tanah berbatu, atap-atap rumah, dan batang-batang pohon tua.

Sendu sekaligus sunyi. Suram sekaligus kelam.

Ada perasaan aneh yang menggantung saat hujan turun di sore hari.
Perempuan itu tiba-tiba bicara. 
Ia meniup secangkir coklat panas di atas meja. Asapnya mengepul tak beraturan.

Hampa. Aku berucap lirih.

Kita merasa hampa karena… 
Ada suatu masa dimana jiwa kita pernah terisi akan sesuatu. Mata kita pernah memandang sesuatu. Telinga kita pernah akrab dengan sesuatu, dan hati kita pernah merasa memiliki sesuatu.

Ada jeda sejenak untuk helaan nafas panjang bagi perempuan itu.

…Yang sekarang menguap entah kemana. Menghilang bersama kepulan asap di tiap cangkir coklat hangat. Atau tersapu rintik gerimis di sore hari.

Aku diam. Menghirup bau tanah basah bercampur aroma coklat.

Perempuan itu bernafas pendek-pendek.  
Saling mendahului antara nafasnya yang mengembun pada kaca, dan irama detak jantungnya sendiri.



Note:
Jauh sebelum ada April, ada tulisan tanpa tanggal, tanpa bulan ini.
Ini cuma percakapan sederhana antara 2 karakter yang kebetulan disebut perempuan.

Monologue: April, 01/15

source: https://www.tumblr.com/tagged/light


Dua tahun lalu. Ucapku ketika Perempuan itu bertanya.
Dua tahun ya?
Ralat. Hampir dua tahun, aku melanjutkan.
Tujuh ratus dua hari. Seratus dua minggu.
Rasanya lama.

Tau apa yang lucu?

Apa?

Perempuan itu memangku dagunya pada tangan kirinya. Jari-jarinya tidak lentik.
Pandangannya menerawang sejenak.

Kita tidak mengukur waktu.
Perempuan itu bersedekap.

Kita mengukur diri kita sendiri.
Sejauh mana kesabaran bisa berada di tempatnya.
Sejauh mana kesetiaan dapat diberikan dan diterima.
Sejauh mana kita mau menunggu...

Aku menyela pedapatnya. Aku mulai muak menunggu.

Perempuan itu membalik satu halaman buku tua miliknya.
Buku puisi, katanya waktu aku bertanya soal buku lusuh yang belakangan selalu berada di atas meja.
Meja bundar kayu jati berwarna coklat tua dan sofa single yang sama tuanya dengan kayu tersebut.

Kata anonim, sabar memang ada batasnya.
Seakan bicara pada dirinya sendiri.

Aku... Aku hilang arah.
Aku terbata-bata lagi.
Belakangan perasaanku kering. Kosong.
Bukan, bukan kosong yang dulu menyesakkan.
Kosong.
Tidak harus memilih. Tidak memiliki pilihan.

Kita sedang buta.
Tiga kata, yang menjelaskan segalanya. Dari Perempuan itu.
Ia menutup halaman bukunya pelan-pelan. Begitu saja. Tanpa meninggalkan lipatan kecil penanda pada ujung halamannya.

Aku sedang buta. Aku membeo ucapannya.

Puzzle-puzzle kenangan yang sudah dipecahkan berkeping-keping tiba-tiba kembali menjadi gambaran besar tentang segalanya.

Perempuan itu, air mukanya berubah sendu.

Sayang sekali, tidak hujan.

Aku memasang wajah bingung.

Sayang sekali, tidak hujan. Ulangnya.
Sayang sekali tidak ada bau tanah basah dan titik-titik gerimis yang berubah deras. Yang biasanya jadi kambing hitam atas perasaan yang sendu.

Perempuan itu mengusap-usap lengan sofa tua dengan tangan kanannya.

Aku memejamkan mata. Menemukan rindu lembabnya ruangan ini saat hujan. Menemukan dingin yang hangat. Menemukan aroma coklat panas dan asap yang mengepul dari cangkir keramik merah milik Perempuan itu.

Sayang sekali, Ia diam. Mungkin mencari padanan kata. Mungkin mencari keberanian.
Tidak ada yang larung bersama air mata dan kenangan yang disesali.

Aku merasakan beban pada kata-kata yang baru saja terucap.

Perempuan itu menunduk. Sebentar.
Lalu tersenyum sembari menghela nafas.

Aku teringat akan kenangan yang disesali.
Kenanganku.
Sebegitu posesifnya hingga kujadikan kenangan itu punyaku.

Aku rindu.

Perempuan itu tidak bertanya siapa.
Ia memandang teduh dalam diam. Seperti biasa, mendengarkan.

Pada beberapa kenangan ingin aku rengkuh bayangan.
Ingin memaksanya tinggal lebih lama.
Ingin memintanya bertahan lebih jauh.
Ingin membekukannya dan mengulangnya kembali.
Ingin....

Ucapanku terputus.
Ada air membayang pada mataku. Padahal tidak hujan.


Note:
Kenapa judulnya April? Karena sesungguh-sungguhnya tulisan ini dibuat bulan April, 2015.
Ini cuma percakapan sederhana antara 2 karakter yang kebetulan disebut perempuan.


Jadi serakah

Diruntut darimana semua sama
Pangkal entah dimana
Ujung entah kemana

Awalnya saya mau kamu
Lalu saya mau kamu bahagia

Awalnya cuma stagnasi
Lalu saya menanti

Awalnya cuma kita
Lalu kita bersama

Sekarang saya mau kamu
Sekarang saya mau kita
Sekarang saya mau kita bahagia

Sekarang saya jadi serakah

Boleh saya minta kamu seutuh-utuhnya?