Desember 16, 2015

Deklarasi indranila

Semalaman diterkam kecemasan yang dibuat sendiri. Seperti kertas daur ulang yang dicabik-cabik. Serat-seratnya saling tarik-menarik dan memburai pada akhirnya.

Ada emosi yang sesungguhnya ingin dinyatakan. Tapi seperti orang pandir, terlalu arogan untuk merasa kalah. 
Seperti ombak. Sebesar apapun gelombangnya, tibanya cuma gemericik kecil di ujung pasir. Lalu jadi buih.

Ada harapan yang tanpa sadar digenggam sendiri. Seperti menggenggam arang. Pada akhirnya ia hanya jadi tumpukan abu hitam di telapak tangan yang terbakar.

Bahagia cuma jadi noda. 
Seperti omong kosong dari cat semprot hijau tua kebiruan pada dinding toko.

Aksara tanpa gema. Aksara warna tanpa suara.

Tidak berarti maknanya selain deklarasi semata.



credit: http://weheartit.com/entry/166797534/via/_Cookie_Monster_404

Oktober 22, 2015

Stagnan

Saya jadi kerikil bersisik yang memuai, 
Kamu jadi karang. 
Saya jadi pasir-pasir beku di tepian, 
Kamu masih karang. 
Saya jadi debu mikroskopis di udara malam, 
Kamu tetap karang. 
Kemudian Saya jadi kondensasi air di menara langit.

Saya tidak lagi bisa melihatmu, 
Atau melihat karang.

September 06, 2015

Karbon kosong


http://weheartit.com/entry/177432369

Sebagian ruang jadi seluruhnya. 
Seperti penuh sesak padahal cuma angin. 
Karbon monoksida dari bising pita suara saling membunuh.


Pembicaraan kita ternyata beracun. 
Isinya kosong. 
Entah kenapa terus kita ulang-ulang argumen dan opini yang sama. 
Saling membeo dan melesakkan pendapat dalam kepala.


Karena tidak kita temukan jalan keluar, ide pembunuhan sepertinya lebih menyenangkan.

Agustus 22, 2015

Requiem on early monday

Late night conversation goes
I have this dragon dancing around my stomach to my back
Classic to blues
We talk and never mind the sound of ticking clock

Late night conversation run dry
Dragons around my stomach turned into butterflies and die
Suddenly it all seems so blue
We stop talking and I'm counting on the sound of ticking clock

Tentang bagaimana kalau dan selanjutnya

Bagaimana kalau kita tulis cerita tanpa makna?
Seperti jargon tanpa maksud yang jelas, sekelebat pikiran-pikiran yang berlalu-lalang atau helaan nafas pada udara yang sebenarnya berisi keluhan panjang.

Bagaimana kalau udara bisa memindai kata?
Bagaimana kalau asap-asap rokokmu itu bisa menyuarakan beban hidupmu?
Atau kalau dari siulanmu bisa ditebak makna konotasi dan suasana hatimu?
Pasti banyak hujan kata dimana-mana.
Kaca, jendela, cermin.
Mobil, kereta, rumah duka.
Semua jadi penuh kata.

Lalu kita tidak lagi perlu saling bicara.
Kita tidak lagi perlu interaksi antar manusia.
Karena kita sudah merasa pandai membaca segalanya.

Kamu bisa lihat umpatan saya saat tiba-tiba hujan turun tanpa jeda.
Kamu bisa lihat doa saat sepotong nyawa mengoyak sisa-sisa.
Kamu bisa lihat amarah saat anak muda berlagak sok tua.
Kamu bisa lihat semua yang saya simpan rapat-rapat.
Atau kamu bisa jadi tidak acuh pada apa saja selain hidupmu.

Segalanya jadi lebih praktis.
Kamu tidak perlu menebak-nebak.
Saya pun tidak perlu lagi merasa bersalah karena tidak bicara.
Kamu tinggal membaca,
Sekumpulan huruf tanpa nyawa di sekitar saya.
Entah sudah ditimbun amarah.
Atau hilang bersama sampah-sampah kata lainnya.

Agustus 03, 2015

Monologue : A prelude

A random call would be nice.
I think as I sigh heavily.

Dari?

Anyone.
A pause.
Well, anyone don't seem to be a good choice.

Lalu siapa?

Well, let me think....

Memangnya bisa?

Hell, nah!
I already run out of energy.
I cannot waste it on thinking.
I need to breathe.

Wait, who are you?!

Aku, perempuan.

She's smiling.
Sincerely.

And then I said,
Halo, perempuan!
With the same sincere smile.

Blah!

Juli 12, 2015

Monologue: 2

source: http://favim.com/image/2701865/

Aku merasa hampa. 
Ocehku suatu hari di musim penghujan.

Perempuan itu sedang duduk menghadap jendela. 
Sibuk dengan khayalannya sendiri.

Menit-menit berlalu dengan untaian ritmis tetesan hujan pada tanah berbatu, atap-atap rumah, dan batang-batang pohon tua.

Sendu sekaligus sunyi. Suram sekaligus kelam.

Ada perasaan aneh yang menggantung saat hujan turun di sore hari.
Perempuan itu tiba-tiba bicara. 
Ia meniup secangkir coklat panas di atas meja. Asapnya mengepul tak beraturan.

Hampa. Aku berucap lirih.

Kita merasa hampa karena… 
Ada suatu masa dimana jiwa kita pernah terisi akan sesuatu. Mata kita pernah memandang sesuatu. Telinga kita pernah akrab dengan sesuatu, dan hati kita pernah merasa memiliki sesuatu.

Ada jeda sejenak untuk helaan nafas panjang bagi perempuan itu.

…Yang sekarang menguap entah kemana. Menghilang bersama kepulan asap di tiap cangkir coklat hangat. Atau tersapu rintik gerimis di sore hari.

Aku diam. Menghirup bau tanah basah bercampur aroma coklat.

Perempuan itu bernafas pendek-pendek.  
Saling mendahului antara nafasnya yang mengembun pada kaca, dan irama detak jantungnya sendiri.



Note:
Jauh sebelum ada April, ada tulisan tanpa tanggal, tanpa bulan ini.
Ini cuma percakapan sederhana antara 2 karakter yang kebetulan disebut perempuan.

Monologue: April, 01/15

source: https://www.tumblr.com/tagged/light


Dua tahun lalu. Ucapku ketika Perempuan itu bertanya.
Dua tahun ya?
Ralat. Hampir dua tahun, aku melanjutkan.
Tujuh ratus dua hari. Seratus dua minggu.
Rasanya lama.

Tau apa yang lucu?

Apa?

Perempuan itu memangku dagunya pada tangan kirinya. Jari-jarinya tidak lentik.
Pandangannya menerawang sejenak.

Kita tidak mengukur waktu.
Perempuan itu bersedekap.

Kita mengukur diri kita sendiri.
Sejauh mana kesabaran bisa berada di tempatnya.
Sejauh mana kesetiaan dapat diberikan dan diterima.
Sejauh mana kita mau menunggu...

Aku menyela pedapatnya. Aku mulai muak menunggu.

Perempuan itu membalik satu halaman buku tua miliknya.
Buku puisi, katanya waktu aku bertanya soal buku lusuh yang belakangan selalu berada di atas meja.
Meja bundar kayu jati berwarna coklat tua dan sofa single yang sama tuanya dengan kayu tersebut.

Kata anonim, sabar memang ada batasnya.
Seakan bicara pada dirinya sendiri.

Aku... Aku hilang arah.
Aku terbata-bata lagi.
Belakangan perasaanku kering. Kosong.
Bukan, bukan kosong yang dulu menyesakkan.
Kosong.
Tidak harus memilih. Tidak memiliki pilihan.

Kita sedang buta.
Tiga kata, yang menjelaskan segalanya. Dari Perempuan itu.
Ia menutup halaman bukunya pelan-pelan. Begitu saja. Tanpa meninggalkan lipatan kecil penanda pada ujung halamannya.

Aku sedang buta. Aku membeo ucapannya.

Puzzle-puzzle kenangan yang sudah dipecahkan berkeping-keping tiba-tiba kembali menjadi gambaran besar tentang segalanya.

Perempuan itu, air mukanya berubah sendu.

Sayang sekali, tidak hujan.

Aku memasang wajah bingung.

Sayang sekali, tidak hujan. Ulangnya.
Sayang sekali tidak ada bau tanah basah dan titik-titik gerimis yang berubah deras. Yang biasanya jadi kambing hitam atas perasaan yang sendu.

Perempuan itu mengusap-usap lengan sofa tua dengan tangan kanannya.

Aku memejamkan mata. Menemukan rindu lembabnya ruangan ini saat hujan. Menemukan dingin yang hangat. Menemukan aroma coklat panas dan asap yang mengepul dari cangkir keramik merah milik Perempuan itu.

Sayang sekali, Ia diam. Mungkin mencari padanan kata. Mungkin mencari keberanian.
Tidak ada yang larung bersama air mata dan kenangan yang disesali.

Aku merasakan beban pada kata-kata yang baru saja terucap.

Perempuan itu menunduk. Sebentar.
Lalu tersenyum sembari menghela nafas.

Aku teringat akan kenangan yang disesali.
Kenanganku.
Sebegitu posesifnya hingga kujadikan kenangan itu punyaku.

Aku rindu.

Perempuan itu tidak bertanya siapa.
Ia memandang teduh dalam diam. Seperti biasa, mendengarkan.

Pada beberapa kenangan ingin aku rengkuh bayangan.
Ingin memaksanya tinggal lebih lama.
Ingin memintanya bertahan lebih jauh.
Ingin membekukannya dan mengulangnya kembali.
Ingin....

Ucapanku terputus.
Ada air membayang pada mataku. Padahal tidak hujan.


Note:
Kenapa judulnya April? Karena sesungguh-sungguhnya tulisan ini dibuat bulan April, 2015.
Ini cuma percakapan sederhana antara 2 karakter yang kebetulan disebut perempuan.


Jadi serakah

Diruntut darimana semua sama
Pangkal entah dimana
Ujung entah kemana

Awalnya saya mau kamu
Lalu saya mau kamu bahagia

Awalnya cuma stagnasi
Lalu saya menanti

Awalnya cuma kita
Lalu kita bersama

Sekarang saya mau kamu
Sekarang saya mau kita
Sekarang saya mau kita bahagia

Sekarang saya jadi serakah

Boleh saya minta kamu seutuh-utuhnya?

April 27, 2015

Kaca, Mata

Dua pasang mata dibalik kaca saling bertabrakan
Seperti yang sudah-sudah, kebetulan lebih keras bergema.

Dua pasang mata dibalik kaca saling bercermin
Entah energi apa yang dilepaskan di udara
Sang mata tidak menerima
Sang hati lamban mencerna

Dua pasang mata dibalik kaca saling memandang
Sama-sama mematri
Sama-sama mengunci

Entah hati siapa bicara,
Dua mata dibalik kaca berpaling
Dua mata dibalik kaca menangis

Kita jadi buta

Kita jadi buta,
antara Kamu dan Saya ada jurang menganga

"Pegang tangan Saya." Kamu bicara yakin

Saya ragu tapi meraihmu jua tanpa banyak bicara,

Ada euforia semu menjalar antara jari-jemari kita.
Saya belum sempat menemukan padanan kata ketika,
detik selanjutnya kita menjatuhkan diri.

Lalu kita jadi buta.