Agustus 22, 2015

Tentang bagaimana kalau dan selanjutnya

Bagaimana kalau kita tulis cerita tanpa makna?
Seperti jargon tanpa maksud yang jelas, sekelebat pikiran-pikiran yang berlalu-lalang atau helaan nafas pada udara yang sebenarnya berisi keluhan panjang.

Bagaimana kalau udara bisa memindai kata?
Bagaimana kalau asap-asap rokokmu itu bisa menyuarakan beban hidupmu?
Atau kalau dari siulanmu bisa ditebak makna konotasi dan suasana hatimu?
Pasti banyak hujan kata dimana-mana.
Kaca, jendela, cermin.
Mobil, kereta, rumah duka.
Semua jadi penuh kata.

Lalu kita tidak lagi perlu saling bicara.
Kita tidak lagi perlu interaksi antar manusia.
Karena kita sudah merasa pandai membaca segalanya.

Kamu bisa lihat umpatan saya saat tiba-tiba hujan turun tanpa jeda.
Kamu bisa lihat doa saat sepotong nyawa mengoyak sisa-sisa.
Kamu bisa lihat amarah saat anak muda berlagak sok tua.
Kamu bisa lihat semua yang saya simpan rapat-rapat.
Atau kamu bisa jadi tidak acuh pada apa saja selain hidupmu.

Segalanya jadi lebih praktis.
Kamu tidak perlu menebak-nebak.
Saya pun tidak perlu lagi merasa bersalah karena tidak bicara.
Kamu tinggal membaca,
Sekumpulan huruf tanpa nyawa di sekitar saya.
Entah sudah ditimbun amarah.
Atau hilang bersama sampah-sampah kata lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar